Jumat, 31 Oktober 2014

Jati diri Islam Indonesia yang direduksi oleh Orientalis

     Tidak bisa dipungkiri, Sejarah adalah salah satu sebuah jalan perbaikan ketika ingin membangun kembali peradaban, sejarah yang benar tanpa kebohongan merupakan pelajaran amat berharga bagi insan yang hidup tidak pada zamannya, tidak hanya itu, sejarah menjadi bukti paling mendasar mengungkap kebenaran secara runtut dan pasti, namun ketika sejarah dibelokan dan dimanipulasi maka, skenario jalan hidup manusia bisa berubah tergantung oleh “kepentingan” siapa sejarah itu diperuntukan. Saat ini, benar-benar menjadi rahasia umum, bahwa sejarah bangsa indonesia telah terbelokan dan sengaja didistorsi untuk sebuah kepentingan dan agenda besar, hal yang menjadi topik menarik adalah pengkaburan Islam dalam perannya sebagai jati diri bangsa indonesia.

            Begitu banyak sekali upaya dan cara-cara picik musuh umat Islam, dalam mengaburkakan nilai-nilai Islam dinusantara, terutama dalam pengkaburan sejarah dan memanipulasinya dengan cara mendustai alur cerita sejarah sebenarnya, melalui lembaga pendidikan dengan kurikulum nya, menjadi cara jitu dalam mereduksi sejarah sebenarnya. Dan memang terbukti melewati buku-buku sejarah dari pelajaran sekolah, anak-anak indonesia menjadi gagal dalam memahami sejarah indonesia secara benar, nampak sekali dalam pemahaman tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia atas peran para ulama-ulama Islam, serta dari peran ulama Islam lah dakwah Islam tersebar keseluruh penjuru Nusantara dan nilai-nilai Islam menjadi Identitas bangsa Indonesia, salah satunya dengan cara akulturasi budaya, yang sebelumnya hindu-budha bercokol dipulau jawa.

Namun kenyataan ini berhasil dikaburkan oleh para musuh Islam, tentu mereka yang tidak menginginkan Islam menyebar dalam benak masyarakat Indonesia, terutama menggunakan mereka para orientalis barat sebagai sosok yang memiliki peran sangat penting, tokoh-tokoh orientalis inilah yang berhasil membelokan sejarah bangsa Indonesia menjadi sebuah episode yang kabur dan tidak runtut secara benar, bahkan cerita dipalsukan, dengan cara memojokan Islam itu sendiri, melalui karya-karya orientalis ini.

            Bahkan dalam pandangan Thomas Stamford Rafless, seorang orientalis dari perancis mengatakan bahwa Islam yang disebarluaskan pada masa Walisongo dianggap sebagai ajaran asing. Sekalipun ia mengakui bahwa saat ia bertugas di kepulauan Melayu dan Jawa, Islam merupakan agama yang dianut mayoritas rakyat di kawasan ini, namun Raffles tidak melihatnya sebagai fenomena kultural yang harus digali. Ia justru semakin yakin dengan pengaruh mistik Hindu-Budha pada penguasa-penguasa Muslim.

Ia menafsirkan berbagai praktik kultural yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Muslim sama seperti penguasa-penguasa Hindu sebelumnya. Penggambaran kekuasaan raja-raja Islam yang penuh mistik seperti keris bertuah, benda-benda pusaka, dan semisalnya melekat sepanjang tulisannya di The History of Java. Penggambarannya ini mengukuhkan kesan tidak berpengaruhnya ajaran-ajaran Islam yang ia sebut sebagai Mohamedanism ini kepada perilaku kultural masyarakat dan penguasa-penguasa Muslim.

            Tidak jauh berbeda dengan Snouck Hurgronje, orientalis yang memiliki pengaruh sangat kuat dan tokoh yang diperhitungkan dari belanda berpendapat, sistem Islam telah menjadi sangat kaku dan tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan abad baru. Snouck melakukan langkah-langkah untuk membebaskan kaum Muslimin dari agama mereka. Menurutnya, hanya melalui organisasi pendidikan yang berskala luas atas dasar yang universal dan netral secara agamis, pemerintah kolonial dapat ‘membebaskan’ atau melepaskan Muslimin dari agama mereka. “Pengasuhan dan pendidikan adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Bahkan, di negeri-negeri berbudaya Islam yang jauh lebih tua dibanding kepulauan Nusantara, kita menyaksikan mereka bekerja dengan efektif untuk membebaskan umat Muhammad dari kebiasaan lama yang telah lama membelenggunya.

            Ungkapan atas penelitian para orientalis dari barat jelas memang salah kaprah, nampak bahwa agenda terselubung menjadi tujuan mereka, yaitu Memojokan dan menjelekan Islam itu sendiri, melalui sejarah. Namun fakta yang tak bisa dibantah adalah peninggalan dan bukti sejarah atas karya-karya ulama terdahulu menjadi salah satu bukti, bahwa nilai Islam tiada yang salah, serta Islam justru mampu menyatukan wilayah Nusantara menjadi satu kesatuan yang kuat dan kokoh, melalui kerajaan-kerajaan Islam yang diberdirikan oleh walisanga di Nusantara.

Mengutip ungkapan cendekiawan muslim SMN AL-Attas Islam datang ke kepulauan Melayu-Indonesia membawa semangat religius yang amat intelektual dan rasionalistis, sehingga mudah masuk ke dalam pikiran rakyat. Ini menyebabkan kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang tidak dinyatakan dalam masa-masa pra-Islam. Timbulnya rasionalisme dan intelektualisme ini dapat dipandang sebagai semangat yang kuat yang menggerakkan proses revolusi dalam pandangan dunia Melayu- Indonesia, dan mengelakkannya dari dunia mitologi yang rontok. Semangat rasionalisme dan intelektualisme ini bukan saja di kalangan istana dan keraton, bahkan juga merebak di kalangan rakyat jelata. Banyak risalah tentang falsafah dan metafisika khusus ditulis bagi keperluan umum.

            Nyatanya dapat disimpulkan bahwa, dengan Islam lah Nusantara menjadi satu, dengan nilai-nilai Islam pula terbukti masyarakat Indonesia menjadi semakin beradab, seperti ciri khas Islam datang ke Nusantara untuk sebuah semangat religiusitas dan intelektual seperti yang diungkap Al-attas, jadi tiada diragukan bahwa jati diri bangsa Indonesia adalah Islam, karena saat berdirinya negara ini adalah sebab sokongan terbesar para pejuang Islam atas dasar Jihad fisabilillah.


Walahua’lam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar