Jumat, 31 Maret 2017

Menepi dari keramaian

Ada masa jiwa harus berhenti dari ramai dan gemuruhnya manusia-manusia yang sedang mencari popularitas, branding, keeksisan, didunia nyata ataupun maya. Ada masa kita benar-benar harus melipir sejenak. Untuk berpikir, Mencari ide, mencari gagasan baru, ataupun hanya sesaat untuk berkontemplasi atas perenungan kondisi psikologis yang sedang dialami. Hingar bingar kehidupan intelektual dan riuhnya pencarian popularitas bisa saja kita anggap negatif dan seolah itu membuat pikiran menjadi muak. Tapi tidak ada salahnya, jika lantas kamu diam menyendiri dalam sudut-sudat pojokan perenungan mencari jawaban, atas tiap-tiap yang kamu anggap sebagai satu kekeliruan dan memerlukan jawaban pembenaran.

Bertanya lagi pada diri sendiri, mencari kedalaman makna atas realitas keberadaanmu, merekonstruksi bangunan nalar yang sebelumnya telah kamu nodai dengan rusaknya ilmu. Tidak menyalahkan sepenuhnya atas dirimu, karena iapun bagian dari satu sistem yang terintegrasi oleh jajahan pemikiran yang tidak benar diluar paradigma dan ideologimu sebagai seorang muslim.

Ada banyak hal bentuk kekhawatiran dalam dirimu, bahkan yang menjadi minimal standar adalah tentang dirimu sendiri, bagaimana kamu berkomunikasi dengan dirimu sendiri, bertanya tentang karakter yang menjadi ke-khasan dirimu, kemudian engkau sibuk berusaha untuk menjelma menjadi sosok yang berbeda, berusaha menjadi sosok orang lain, tapi bukan tentang itu. Ini tentang perbaikan diri menjadi lebih baik lagi dari yang sebelumnya. Tidak perlu mencari popularitas dan ketenaran yang tidak perlu kau dapatkan. Ada begitu banyak yang kau harus sadari tentang penerimaan. Dan dalam proses menerima memerlukan waktu yang tak sebentar.


Tentang kondisi dirimu sendiri, tentang cederanya pikiranmu memahami realitas yang terasa begitu sulit, Kegalauan mu adalah salah satu siklus yang tiap manusia pada fitrahnya mengalami, tak perlu ada kekhawatiran tentang ini, ada banyak sekali pertanyaan yang menjulur panjang yang kau tak menemui jalannya, kecuali kau akan temui disudut gelaran sajadah dalam sujud panjangmu. Disanalah kau akan menemukan banyak jawaban atau kacaunya kamu, jangan berhenti dan terus lakukanlah.

Jumat, 24 Maret 2017

Lagi-Lagi Soal Bahagia

Hidup tentang menerima? Iya betul sekali salah satunya. Kita akan melalui banyak hal disini, berpasrah juga salah keduanya,  Iya betul sekali, namun tak sedikit yang tergelincir dalam riunya dunia bahwa ia merasa memiliki segalanya, ada juga yang merasa gamang bahwa ia sejatinya tak memiliki apapun, atau adapula yang berada ditengah-tengah, seimbang dalam melakoni, seimbang dalam merasai.

Bahwa kisah hidup kita istimewa, iya betul. Tiap kita menjalani scenario masing-masing, menjadi peran utama, kadang menjadi peran pembantu dalam kisah hidup orang lain. Akan tetapi yang lebih berharga dari semuanya, seberapa pintar kita menerjemahkan semua kumpulan hikmah hidup yang sudah kita lalui.

Kadang berat, kadang ringan, kadang biasa saja. Begitu rasanya, sesekali diatas sesekali dibawah, kadang bergelombang kadang tenang, alur cerita masing-masing hidup berbeda bukan. Dan tiap kisah selalu istimewa dari manapersepsi dan dengan kacamata apa melihatnya.

Bahagia, bagaimana bentuknya? Lucu ketika harus mencari-cari jawaban atas ini untuk yang sulit sekali menerima, bahagia untuk sebagian orang menjadi tujuan dalam proses hidupnya, bahagia juga menjadi satu konsep yang sulit diterjemahkan untuk orang yang tidak terbiasa merdeka dari derita, bagaimana untuk sampai puncak sejahteranya jiwa Atau psychological well being?

psychological well-being adalah suatu kondisi seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja, tetapi lebih dari itu yaitu kondisi seseorang yang mempunyai kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self-acceptance),


Satu fase awal yang harus dilalui adalah penerimaan diri, dimana tidak semua orang bisa melalui ini dengan tempo yang singkat dan sesaat, bahkan kadang memerlukan waktu seumur hidup, karena dalam proses hidupnya menghadapi masalah yang berulang dan belum selesai dengan dirinya. 

Aspek ini didefinisikan sebagai  karakteristik utama dari kesehatan mental dan juga merupakan karakteristik utama dari seseorang yang mencapai aktualisasi diri yang berfungsi secara optimal dan dewasa. 

Jiwa yang sejahtera juga harus mampu melakukan pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth), secara psikologis seseorang harus berkembang, mengembangkan potensi-potensinya, untuk tumbuh dan maju. 

Pemanfaatkan secara optimal seluruh bakat dan kapasitas yang dimiliki oleh seseorang merupakan hal yang penting dalam psychological well-being. Ia yang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru berarti  akan terus berkembang bukan hanya mencari suatu titik yang diam di mana semua masalah terselesaikan. 

Dan jalan masih sangat panjang. 

Lanjutkanlah.

Senin, 20 Maret 2017

Cobalah Nyaman dengan "Konformitasmu"

Manusia, lagi-lagi nenelisiknya dari kacamata behavioristik memunculkan hal baru yang menarik untuk semakin dicari tahu atau semakin jeli mengamatinya, bahwa manusia ini memang sangat unik dan memiliki segala kompleksitasnya sebagai seorang individu, maupun jenis mahluk social yang tidak akan terputus hubungannya dalam lingkungan bermasyarakat. Tidak semua seseorang bisa melakukan konformitas dengan baik terhadap lingkungan yang baru, tidak sedikit pula yang memang sudah cekatan dan sangat cair dan mengalir ketika di terjunkan dalam satu kelompok tertentu, hal ini didasarkan pada karakter individu, kebiasaan atapun sifat dasar seseorang tersebut.

Beberapa alasan seseorang melakukan konformitas adalah Keinginan untuk disukai Sebagai akibat internalisasi dan proses belajar, sebagai contoh dimasa kecil kita banyak melakukan konformitas untuk mendapatkan persetujuan dari banyak orang, mengapa persetujuan diperlukan? Karena agar mendapat pujian, Oleh karena pada dasarnya banyak orang senang akan pujian maka banyak orang berusaha untuk konform dengan keadaan, dan ini menjadi satu hal yang lumrah, karena memang manusia memiliki naluri ini gharizah Baqa’ dimana ia memang membutuhkan pengakuan, penghargaan dan segala suatu yang positif tentang dirinya. Disisi lain, seorang manusia juga memiliki rasa takut akan penolakan. Konformitas penting dilakukan agar individu mendapatkan penerimaan dari kelompok atau lingkungan tertentu. Jika individu memiliki pandangan dan perilaku yang berbeda maka dirinya akan dianggap bukan termasuk dari anggota kelompok dan lingkungan tersebut.

Namun ada juga seseorang yang memiliki alasan tersendiri untuk mengabaikan lingkungan, tidak perlu melakukan konformitas karena berada pada zona nyamannya sendiri, merasa bahwa diri mampu, kuat dan banyak melakukan deffence pada dirinya sendiri atau Deindividuasi. Deindividuasi terjadi ketika kita ingin dibedakan dari orang lain, ia merasa special dengan diri nya sendiri, ia akan menolak konform karena tidak ingin dianggap sama dengan yang lain, dengan kesendiriannya ia sudah cukup merasa istimewa. Sebab lain juga bisa karena ingin menjadi orang yang bebas, ia menolak untuk konform karena dirinya memang tidak ingin untuk konform. Menurutnya, tidak ada hal yang bisa memaksa dirinya untuk mengikuti norma ataupun gaya sosial yang ada.

Dengan banyak karakternya, seseorang memang bisa bersikap sesuka hatinya, boleh saja merasa tidak membutuhkan orang lain, akan tetapi harus disadari bahwa manusia juga bagian dari satu kelompok, satu entitas yang terikat dengan yang lain, ingin atau menolak merasa telah merdeka, kadang ada sisi dimana tidak perlu menegarkan diri bahwa memang ia memerlukan konformitas, meskipun sekedar ia berbasa-basi. maka cobalah membuka diri dengan lebih baik lagi, buatlah nyaman dengan cara "konformitas" mu :) 

#celotehan diri mengamati sekitar ^^

Minggu, 19 Maret 2017

Islamisasi Ilmu Psikologi: Antara Memilah dan Memilih

Oleh Rizka Fitri Nugraheni

SEPERTI diketahui, ilmu pengetahuan kontemporer saat ini didominasi oleh Barat. Kata “Barat” yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah pemikiran, bukan bangsa. Ciri-ciri pemikiran Barat salah satunya adalah mengabaikan aspek metafisik (ghaib), seperti wahyu, Tuhan, atau malaikat. Dominasi pemikiran tersebut dapat terlihat dari banyaknya buku-buku dari Barat yang digunakan sebagai acuan dalam perkuliahan. Bagaimanapun juga pemikiran Barat memiliki sisi positif yang bermanfaat bagi ummat manusia. Contoh yang dapat ditemukan di bidang psikologi adalah metode pengukuran dalam psikometri, konsep empati, konsep pola asuh dalam mendidik anak, konsep kognisi seperti memori, berbagai teori motivasi, dan masih banyak lainnya. Semua itu bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk bagi Muslim.

Majunya psikologi kontemporer yang kebanyakan membahas tingkah laku memang memberi sumbangan bagi Muslim, namun ada satu hal yang tidak tercakup di dalamnya, yaitu konsep jiwa. Psikologi Barat cenderung hanya membahas tingkah laku baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat secara langsung (seperti aktivitas mental). Tidak  bermaksud menafikkan aspek tingkah laku karena itu penting dalam kehidupan manusia (Amber Haque), yang disayangkan adalah tidak adanya aspek jiwa dalam pembahasan Psikologi Kontemporer, sementara dalam Islam jiwa mempengaruhi tingkah laku manusia.

Kita semua sebagai Muslim patut bersyukur karena Islam memiliki konsep jiwa pada manusia, jiwa yang tentu dapat mempengaruhi tingkah laku.

Imam Al-Ghazali dalam buku “Keajaiban Hati” menyatakan bahwa jiwa manusia memiliki empat komponen, yaitu ruh, qalb, nafs, dan ‘aql. Semua itu disebutkan dalam Al-Qur’an dan masing-masing memiliki fungsi tersendiri namun saling berhubungan. Salah satu contoh adalah qalb yang dapat berfungsi sebagai “raja” bagi “kerajaan” jiwa manusia, mampu menangkap pengetahuan tentang Allah, hal-hal spiritual, termasuk baik-buruknya sesuatu. ‘Aql dapat berfungsi sebagai “penasihat” dan menundukkan hawa nafsu. Keduanya berperan dalam konsep ‘iradah (kehendak), yang prosesnya sebagai berikut: seseorang dengan akalnya dapat menangkap dan melihat akibat dari suatu masalah lalu mengetahui jalan terbaiknya. Muncul kemauan, lalu bertindak ke arah kebaikan

Konsep ‘iradah tersebut jika diperhatikan mirip dengan konsep motivasi yang juga masih dibahas dalam psikologi kontemporer. Terdapat kebaikan sebagai tujuan, tindakan sebagai aktivitas, kemauan sebagai dorongan dan semua itu merupakan proses. Seperti yang disampaikan oleh Schunk et al. (2010), yang menyatakan bahwa motivasi adalah proses di mana aktivitas yang mengarah pada tujuan, memiliki dorongan dan bertahan lama. Dari contoh hubungan konsep-konsep tersebut, dapat diketahui bahwa Psikologi dalam Islam sudah ada dari dulu dan psikologi kontemporer dapat disandingkan dengan Islam. Tentu juga bermanfaat bagi Muslim, ketika ilmuwan Muslim dapat memilah, memilih, dan menggunakan ilmu kontemporer secara bijak.
Benar-benar indah jika ilmuwan Muslim dapat memilah dan memilih dengan bijak, namun apa yang terjadi sekarang? Ilmuwan Muslim menjiplak pemikiran dan produk psikologi Barat, dengan menggunakan paradigma Barat dalam memandang berbagai fenomena. Tidak heran jika banyak yang berpendapat bahwa agama, keyakinan, atau hal-hal ghaib yang berlaku dalam Islam tidak berlaku dalam aktivitas keilmuan psikologi. Tidak heran juga ketika banyak ilmuwan psikologi yang tidak menggunakan Islam sebagai worldview dalam meneliti, konseling, ketika belajar, dan menyikapi berbagai teori. Tidak melibatkan Allah dalam motivasi, berorientasi pada kemauan klien ketika konseling, menerima begitu saja kesimpulan penelitian yang bertentangan dengan Islam. Ada sebagian dari ilmuwan Muslim yang tersesat, menjadi agnostik atau ateis. Itu yang menjadi masalah bagi kita sebagai Muslim. Hal itu menunjukkan sebagian ilmu pengetahuan yang beredar sekarang ini menjauhkan manusia dari Allah, padahal dalam pandangan Islam ilmu justru membuat manusia mendekatkan diri pada Allah.

Fenomena itu cukup memprihatinkan dan perlu menjadi perhatian bagi Muslim, sehingga perlu ada upaya Islamisasi ilmu. Gagasan Islamisasi ilmu kontemporer salah satunya dicetuskan oleh Prof. Al-Attas. Menurut Prof S.M.N. Al-Attas, Islamisasi merupakan usaha menjadikan pemikiran Muslim terbebas dari hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga banyak di antara Muslim yang memiliki Islamic worldview. Segala hal pun dipandang dari sudut pandang Islam oleh Muslim, bukan sudut pandang yang justru bertentangan dengan Islam. Pemikiran Muslim yang sudah memiliki Islamic worldview akan menghasilkan ilmu yang dapat mendekatkan diri pada Allah, bukan yang bertentangan dengan Islam.

Perlunya Islamisasi ilmu juga berlaku di bidang psikologi karena tidak semua Psikologi Kontemporer dapat diterima dan diaplikasikan pada Muslim. Prof. Malik Badri (sebagai pelopor Islamisasi ilmu) dalam artikelnya  menekankan perlunya adaptasi terhadap Psikologi Barat, karena tanpa adaptasi Psikologi Barat dapat merugikan atau tidak berguna bagi Muslim. Perlu diingat juga bahwa Psikologi Barat tidak membahas unsur jiwa, yang dalam Islam justru sangat diperhatikan. Kekurangan pada Psikologi Barat tetap disikapi dengan bijak. Adaptasi dilakukan hanya pada psikologi yang bertentangan Islam, sedangkan hasil pemikiran yang tidak bertentangan, sekalipun itu dari Barat dapat dimanfaatkan oleh Muslim. Prof. Malik Badri menggunakan terapi dengan cara Islami dan berhasil membantu banyak kliennya sembuh. Beliau dalam buku “Dilema Psikolog Muslim”, menceritakan pengalaman membantu menyembuhkan klien dengan menggunakan Cognitive Behavioral Therapy yang dipadukan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa ilmuwan Muslim dapat menggunakan tes inteligensi, teknik pembuatan alat ukur psikologis, metode penelitian eksperimental, konseling dengan empati, dan hal-hal lain yang tidak bertentangan dengan Islam.  Semua itu dapat digunakan tentu dengan sikap yang bijak.

Ilmuwan psikologi yang memiliki pemikiran Islami meyakini Allah sebagai Rabb, Islam sebagai ad-Din, dan manusia juga sebagai makhluk spiritual yang memiliki jiwa. Dia dalam tiap aktivitas keilmuan psikologi akan ingat bahwa yang diperhatikan bukan sebatas tingkah laku yang terlihat atau terukur. Ada unsur lain di luar itu turut mempengaruhi tingkah laku, yaitu jiwa. Pemikiran seperti itu akan berdampak baik bagi Islamisasi Psikologi. Psikolog Muslim akan menjaga kondisi jiwanya agar selalu bersih dari penyakit hati, sehingga dapat membantu para klien sembuh dari gangguan dengan terapi yang melibatkan aspek jiwa dan mangadopsi metode dari Barat yang tidak bertentangan dengan Islam. Peneliti Muslim akan kritis dalam menyikapi kesimpulan penelitian yang dibaca. Ketika bertentangan dengan Islam, akan dilakukan adaptasi, salah satunya dengan cara menggunakan Islamic worldview dalam menginterpretasikan hasil penelitian. Akan ada usaha memilah mana yang baik dan buruk untuk Muslim, kemudian memilih yang baik, demi keselamatan ummat Islam.

Keselamatan ummat Islam dari hal-hal yang merugikan menjadi fokus dalam Islamisasi ilmu. Tidak bermasuk ekslusif, karena Islam merupakan rahmatalil ‘alamin, namun tidak memaksakan orang-orang selain penganut Islam untuk mengikuti ajarannya. Itu juga berlaku pada psikologi yang perlu diadaptasi, agar pada akhirnya ilmu psikologi yang beredar pantas untuk Muslim.

Adaptasi sebagian ilmu psikologi, sebagai salah satu cara Islamisasi ilmu, dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Cara dapat berbeda, asal esensinya sama. Penggunaan label “Psikologi Islam” atau “Psikologi Islami” semestinya tidak perlu dijadikan masalah, apalagi diperdebatkan. Islam saja memiliki madzab-madzab yang penganutnya tersebar di seluruh dunia, namun semuanya tetap Islam. Sekarang bukan saatnya mempermasalahkan perbedaan cara, namun mempermasalahkan ilmu psikologi yang harus diadaptasi. Masih ada tugas yang lebih penting dan harus dikerjakan oleh ilmuwan Muslim di bidang psikologi: mencerdaskan pelajar Muslim yang belum paham mengenai permasalahan ilmu, agar banyak yg dapat memilah dan memilih, sehingga tercipta produk-produk  psikologi yang dapat dimanfaatkan oleh ummat Islam.
Itu memang tugas yang berat untuk Islamisasi Psikologi. Dibutuhkan  waktu yang panjang dan usaha yang keras. Islamisasi ilmu Psikologi tidak akan lengkap tanpa kesucian hati dan keyakinan terhadap Islam itu sendiri. Semoga kita termasuk orang-orang yang terlibat dalam Islamisasi ilmu Psikologi baik secara langsung maupun tidak langsung, sampai akhirnya Psikologi yang kita terima merupakan ilmu yang dapat mendekatkan diri pada Allah. Dengan begitu, ummat Islam dapat memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Wallahu’alam.*

Penulis Penggiat Komunitas Penggenggam Hujan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1991). Islam dan Sekularisme. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan.
Badri, Malik. Dilema Psikolog Muslim.
Badri, Malik. The Islamization of Psychology Its “why”, its “what”, its “how” and its “who”. Artikel dapat diunduh di http://i-epistemology.net/psychology/60-the-islamization-of-psychology-i….
Imam Al-Ghozali. Keajaiban Hati. Penerbit Khatulistiwa.

Schunk, D. H., Pintrich, P. R., Meece, J. L. (2010). Motivation in Education: Theory, Research, and Applications. New Jersey: Pearson Prentice Hall.