Rabu, 09 Maret 2016

Ibu

Aku tidak tahu, kalimat syukur seperti apalagi yang harus aku panjatkan untuk hadiah terbesarku dalam kehidupanku saat ini, dirimu ibuku.. kau segalanya bahkan kau menjadi nafas dalam tiap gerakku, penyemangat hidup karena surga ku ada ditelapak mu,

Ya Allah, begitu baiknya Engkau menganugerahi aku ibu seperti ini, betapa mulianya Engkau memberikan sosok malaikat berwujud manusia yang anggun dan cantik nya ia..

Bu, bolehkah aku bertanya, hatimu terbuat dari apa? Mengapa begitu kuat dan tegarnya, kadang takdir sering tak berphak padamu, takdir jahat sekali tak pernah mengerti kondisi hatimu yang sedang luka dan terbelah, takdir tetap saja datang padamu, membawa banyak kesedihan dan bencana yang gemuruhnya merontokan jantung mu, perasaan mu yang tergilas, air matamu yang habis terkuras...

Bu, hatimu terbuat dari apa? Hingga kau menjadi sekuat ini? Kadang aku cemburu padamu, tiap ujian yang datang, kau melalui nya dengan sendirian, mereka yang dekat dengan mu justru orang-orang yang paling sering melukaimu,

Bu hatimu terbuat dari apa? Aku bahkan ketar –ketir saat harus memposisikan diri menjadi sepertimu, aku menjadi manusia paling cengeng saat ku tahu ada yang menusuk hatimu, saat ada yang menggoreskan dan membuat air matamu mengalir karena kesedihan, aku adalah orang pertama yang selalalu menahan amarah dan menyembunyikan sesakan air mata dibawah bantal, karena aku tak ingin tunjukan air mataku dihadapan mu.

Bu, betapa tersakitinya aku saat mereka menanamkan jeruji berkarat yang membuat hatimu iritasi, lukanya tak sembuh dalam hitungan hari bahkan menahun, hatimu menjadi infeksi dan berdarah-darah.

Bu, aku ingin sampaikan bahwa hatiku juga terluka parah, aku seperti patah hati, aku juga tersakiti saat engkau terdzalimi..

Lagi-lagi aku harus bertanya berulang kali, bu hatimu terbuat dari apa? Mengapa begitu mudahnya engkau menerima segalanya, mudah memberi maaf pada mereka sang tersangka, mudahnya engkau bersabar, meski hatimu telah hancur tertatar...

Bu, aku terdiam seribu bahasa, aku tidak bisa utarakan rasa hatiku, begitu kagumnya aku padamu, aku selalu berusaha menyeka luka ku, menyembuyikan lelehan air mata darimu, sebisa ku aku selalu nampak sumringah dihadapan mu, ternyata kau pun lebih pandai dariku, menyoal sembunyikan rasa sakit hati, kau selalu didepan untuk menyelisihi.

Bu, sekali lagi .. aku bertanya padamu, hatimu terbuat dari apa? Aku ingin meneladani, tapi aku sendiri masih tergpoh bahkan tak mampu berdiri sendiri, aku selalu berdoa untukmu, moga Allah menghadiahi mu surga terbaik Nya, surga terindah Nya, surga yang paling cantik tiada duanya..

Tiap hari aku mendoa tanpa sepengetahuan mu, bahwa tiap hari aku juga menangis mengadu, mengiba penuh kasihan, segala rasa ingin ku pada Nya aku kembalikan..

Ibuku yang paling aku cintai melebihi jiwa dan ragaku, mungkin bosan juga kau mendengar gombalanku, bahkan tiap hari aku katakan aku mencintaimu, aku berharap aku menjadi penguatmu, meski aku bukan obat yang akan menjadi penyembuh semua lara dan luka mu..


Bu, aku mencintaimu selalu.. selalu.. dan selalu begitu...

*selamat hari ibu tiap hari, tiap detik, tiap waktu :)

Rabu, 02 Maret 2016

Ukhuwah Yang Terdistorsi Ego

Aku tidak mengerti dengan mereka, atau mereka yang tidak mengerti aku? Aku belajar memahami namun seolah ada benteng dan tembok besar dihadapanku ketika aku ingin menilik lebih jauh sebabnya, aku tidak tahu mengapa aku bingung.. semoga ini hanya kesalahpahaman sementara agar dihatiku tak ada dengki maki lebih dalam lagi..

Ukhuwah adalah ikatan, ia tak sekedar pengerat tali persaudaraan atas dasar iman.. ia tak hanya simbolis yang dirinya mengaku Islam didalam satu lingkup tempat berteduh seperti dibawah pohon besar yang lebat daunnya, namun banyak pula buahnya.

Aku ingin berkaca lagi, ukhuwah macam apa ini, ketika interaksi menjadi terasa pahit melilit lidah seakan terasa serak dikerongkongan, iyakah hanya sebatas saapan gombal yang tiada nilai dan ruh ikatan akidah didalamnya?

Aku harus bermuhasabah lagi, ini tentang rasa saling mengasihi kepada saudara seiman, ketika mengingatkan dengan cara yang baik, bukan malah membuat hatinya makin tercabik-cabik. Pun ini tentang bagaimana bersikap dan berakhlak kepada saudara, tentunya nama mereka harus ada ditiap lipatan doa-doa kita, bukan sebaliknya mengumpat dan maki cela keluar dari mulut busuk kita.

“Mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran”, begitulah ayat Allah yang indah lagi menentramkan jiwa, kalimat – Nya seharusnya menjadi penggugah cinta dalam jiwa, kesadaran penuh atas diri kepada yang lain, bukan sekedar kata yang main-main.

Kita telah lama bersengketa, tidak sekedar urusan dunia, tetapi juga tentang surga dan neraka, saling menuding dan tindih merasa benar masing-masing, sampai-sampai saudara seiman menjadi pihak terasing, kita menjadi berlepas dan berkelompok, yang satu dengan yang lainnya saling memojok, bertikai lantas hancur seperti debu, lupa pada musuh sebenarnya yang harus kita serbu.

Ya Rabbi, nelangsanya kami.. bahkan Al-qur’an kami lalaikan, tak menjadikannya sebagai pedoman mengikatkan persaudaraan, ukhuwah kami retak terbelah, lebih tinggi ego atas nama harakah...

Ohh ya Rabbi, betapa kasihan kami ini, sibuk mencari aib saudara sendiri, aib dalam diri lupa kami koreksi, sibuk memerintah agar yang lain begini dan begitu, lupa pada diri yang juga ikut tertipu. Mereka yang tak suka dengan kami tertawa bahagia karena kami saling cacah, sedangkan mereka bersorak dengan wajah penuh sumringah.

Kekuatan menjadi hilang perlahan, ikatan tumbang satu demi satu tak terelakan, ilmu makin sempit, rasa ukhuwah makin kecil terapit, cita-cita yang semula menjadi tujuan bersama, akhirnya bertebaran menjadi banyak cara dan jalan dalam mencapainya, nyatanya pun tak sampai-sampai kemana sebenarnya arahnya.


Ini bukan tentang “aku” saja, ini tentang “kau” juga, bahkan “dia” yang seharusnya menjadi “kita”, bisakah kita bergandengan lagi? Dalam tiap suasana membersamai? Bisakah kita saling mendukung? Dalam tiapa cuaca panas atau mendung. Bisakah kita tetap dalam satu ikatan? Meski jalan dan cara kita saling berhadapan, tapi itu tak jadikan kita saling bertentangan?


Bisakah? 


Bisakah? 

Ilmu dan Peradaban

“Ilmu itu merupakan tempat persemaian tiap kemuliaan, olehnya taburkanlah kemuliaan itu dan engkau harus amat berhati-hati jikapun tempat persemaian itu tak melahirkan suatu kebanggaan ...”
“Dan ketahuilah, bahwa ilmu tak akan didapat dari seseorang yang cita-cita hidupnya hanya tertuju pada makanan dan pakaian...”
Imam Syafi’i

Imam sya’fii menceritakan, bahwa beliau sudah menghafal al-qur’an saat berusia 7 tahun, dan menghafal kitab al-muttawatha karya imam malik pada umur 10 tahun, keinginan imam syafii dalam ilmu agama sangatlah masyhur dan mendapat pengakuan yang luas, pada saat usia beliau 18 tahun beliau sudah diminta oleh para ulama agar bisa memberikan sumbangsih fatwa. Yang berarti sebagai pengakuan atas statusnya sebagai seorang mujtahid, bahkan imam Ahmad bin hambal menyatakan bahwa Imam ay-syafii adalah orang yang sangat memahami al-qur’an dan sunnah Rasulullah, beliau tidak pernah merasa jenuh untuk mencari dan mengumpulkan hadist. Hingga Imam ahmad berujar “ tiada seorang pun yang memegang pena dan tinta kecuali dia berfigur kepada imam as-syafii”

Seperti hal nya sang Imam Syafii lah seharusnya kita bercermin, mencuatkah ghirah pada ilmu dan kecintaannya yang mendalam menusuk puncak cita-cita, tiada memisahkan antara ilmu dan amalan, tiada juga mereduksi ilmu hanya pada selembar gelar yang hanya bermuara pada urusan hasrat dan nasfu semu dunia.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi tradisi ilmu dan begitu menghargai ilmu, suatu saat Sayyidina Ali didatangi beberapa orang yang menanyakan manakah yang lebih utama ketimbang Ilmu dan harta?, Sahabat Rasul itu pun menjawab, “lebih mulia ilmu, ilmu akan menjagamu, sedangkan harta, kamu yang harus menjaganya, ilmu ketika kamu berikan maka ia akan bertambah, sedangkan harta, akan berkurang, ilmu adalah warisan para nabi, harta warisan Firaun dan Qarun, ilmu menjadikan dirimu bersatu, dan harta bisa menjadikan dirimu terpecah belah dan seterusnya..

Kecintaan kita kepada Ilmu seharusnya menjadi selaras dengan apa yang kita imani, jiwa yang terus merasa muda dan haus untuk mencari tentang hakikat ilmu, ilmu yang bersandar dari kebenaran.

Tiada satupun peradaban didunia ini yang tidak berdiri atas ilmu, ilmu menjadi pondasi dan pijakan pertama untuk sebuah peradaban yang kokoh, tanpa kecuali peradaban Islam, Rasulullah saw, adalah role model yang memberikan andil terbesar dan tradisi peradaban Islam, sang Rasul yang menjadi pujaan seluruh ummat Islam telah membuat dan berhasil mempengaruhi para sahabat nya menjadi manusia-manusia yang “gila” akan ilmu.

Tradisi ilmu yang didorong oleh nilai-nilai alqur’an telah berhasil mendaur ulang bahkan merombak pemikiran-pemikiran para sahabat yang jahil, memberikan pencerahan dan jalan terang bagi para sahabat, sehingga pengetahuan dan akhlak yang mulia termanifestasi dalam tiap lisan dan gerakan. Mereka yang semula adalah generasi-generasi arab jahiliyah yang sama sekali tak diperhitungkan dalam pergolakan dunia, berhasil menjadi para pemimpin kelas dunia yang amat disegani di sejagat dunia pada masa itu.

Menurut Prof. Syed Al-attas, Dalam membangun peradaban Islam, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan yang disebutnya sebagai “ta’dib” tujuan utamanya adalah membentuk manusia yang beradab, manusia yang memiliki adab, adab adalah disiplin rohani, akil, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakan segala sesuatu pada tempatnya, secara benar dan wajar. Sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat juga lingkungannya. Kemudian selanjutnya hasil dari adab ialah mengenal Allah swt dan “meletakkan-Nya” ditempat-Nya dan wajar dalam melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap Ihsan. Sehingga inilah yang mampu menepis tujuan materialistis dari ilmu yang meletakan ilmu pada posisi yang sebenarnya. Karena tujuan ilmu yang tertinggi adalah mengenal Allah swt.

Karena puncak dari orang-orang yang berilmu secara benar adalah menemukan bahwa “tiada Tuhan selain Allah” ketika ia tulus dan penuh keiklasan akan ilmunya tentu tiada rasa dengki dan memutus semua rasa kecongkakan dan kesombongan dalam hatinya, yang berakhir pada penerimaan kebenaran hanya dari Allah secara mutlak, dan melakoni ibadah secara benar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Nya.


Maka ketika kita berazam menjadi insan yang mencapai taraf ihsan, maka memulai nya adalah dengan memiliki ilmu, konsep ilmu yang diaplikatifkan dalam adab yang benar, akan menggiring masyarakat pada peradaban yang maju pula.