Oleh
Rizka Fitri Nugraheni
SEPERTI
diketahui, ilmu pengetahuan kontemporer saat ini didominasi oleh Barat. Kata
“Barat” yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah pemikiran, bukan bangsa.
Ciri-ciri pemikiran Barat salah satunya adalah mengabaikan aspek metafisik
(ghaib), seperti wahyu, Tuhan, atau malaikat. Dominasi pemikiran tersebut dapat
terlihat dari banyaknya buku-buku dari Barat yang digunakan sebagai acuan dalam
perkuliahan. Bagaimanapun juga pemikiran Barat memiliki sisi positif yang
bermanfaat bagi ummat manusia. Contoh yang dapat ditemukan di bidang psikologi
adalah metode pengukuran dalam psikometri, konsep empati, konsep pola asuh
dalam mendidik anak, konsep kognisi seperti memori, berbagai teori motivasi,
dan masih banyak lainnya. Semua itu bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari,
termasuk bagi Muslim.
Majunya
psikologi kontemporer yang kebanyakan membahas tingkah laku memang memberi
sumbangan bagi Muslim, namun ada satu hal yang tidak tercakup di dalamnya,
yaitu konsep jiwa. Psikologi Barat cenderung hanya membahas tingkah laku baik
yang terlihat maupun yang tidak terlihat secara langsung (seperti aktivitas
mental). Tidak bermaksud menafikkan
aspek tingkah laku karena itu penting dalam kehidupan manusia (Amber Haque),
yang disayangkan adalah tidak adanya aspek jiwa dalam pembahasan Psikologi
Kontemporer, sementara dalam Islam jiwa mempengaruhi tingkah laku manusia.
Kita
semua sebagai Muslim patut bersyukur karena Islam memiliki konsep jiwa pada
manusia, jiwa yang tentu dapat mempengaruhi tingkah laku.
Imam
Al-Ghazali dalam buku “Keajaiban Hati” menyatakan bahwa jiwa manusia memiliki
empat komponen, yaitu ruh, qalb, nafs, dan ‘aql. Semua itu disebutkan dalam
Al-Qur’an dan masing-masing memiliki fungsi tersendiri namun saling
berhubungan. Salah satu contoh adalah qalb yang dapat berfungsi sebagai “raja”
bagi “kerajaan” jiwa manusia, mampu menangkap pengetahuan tentang Allah,
hal-hal spiritual, termasuk baik-buruknya sesuatu. ‘Aql dapat berfungsi sebagai
“penasihat” dan menundukkan hawa nafsu. Keduanya berperan dalam konsep ‘iradah
(kehendak), yang prosesnya sebagai berikut: seseorang dengan akalnya dapat
menangkap dan melihat akibat dari suatu masalah lalu mengetahui jalan
terbaiknya. Muncul kemauan, lalu bertindak ke arah kebaikan
Konsep
‘iradah tersebut jika diperhatikan mirip dengan konsep motivasi yang juga masih
dibahas dalam psikologi kontemporer. Terdapat kebaikan sebagai tujuan, tindakan
sebagai aktivitas, kemauan sebagai dorongan dan semua itu merupakan proses.
Seperti yang disampaikan oleh Schunk et al. (2010), yang menyatakan bahwa
motivasi adalah proses di mana aktivitas yang mengarah pada tujuan, memiliki
dorongan dan bertahan lama. Dari contoh hubungan konsep-konsep tersebut, dapat
diketahui bahwa Psikologi dalam Islam sudah ada dari dulu dan psikologi
kontemporer dapat disandingkan dengan Islam. Tentu juga bermanfaat bagi Muslim,
ketika ilmuwan Muslim dapat memilah, memilih, dan menggunakan ilmu kontemporer
secara bijak.
Benar-benar
indah jika ilmuwan Muslim dapat memilah dan memilih dengan bijak, namun apa
yang terjadi sekarang? Ilmuwan Muslim menjiplak pemikiran dan produk psikologi
Barat, dengan menggunakan paradigma Barat dalam memandang berbagai fenomena.
Tidak heran jika banyak yang berpendapat bahwa agama, keyakinan, atau hal-hal
ghaib yang berlaku dalam Islam tidak berlaku dalam aktivitas keilmuan
psikologi. Tidak heran juga ketika banyak ilmuwan psikologi yang tidak
menggunakan Islam sebagai worldview dalam meneliti, konseling, ketika belajar,
dan menyikapi berbagai teori. Tidak melibatkan Allah dalam motivasi,
berorientasi pada kemauan klien ketika konseling, menerima begitu saja
kesimpulan penelitian yang bertentangan dengan Islam. Ada sebagian dari ilmuwan
Muslim yang tersesat, menjadi agnostik atau ateis. Itu yang menjadi masalah
bagi kita sebagai Muslim. Hal itu menunjukkan sebagian ilmu pengetahuan yang
beredar sekarang ini menjauhkan manusia dari Allah, padahal dalam pandangan
Islam ilmu justru membuat manusia mendekatkan diri pada Allah.
Fenomena
itu cukup memprihatinkan dan perlu menjadi perhatian bagi Muslim, sehingga
perlu ada upaya Islamisasi ilmu. Gagasan Islamisasi ilmu kontemporer salah
satunya dicetuskan oleh Prof. Al-Attas. Menurut Prof S.M.N. Al-Attas,
Islamisasi merupakan usaha menjadikan pemikiran Muslim terbebas dari hal-hal
yang bertentangan dengan Islam, sehingga banyak di antara Muslim yang memiliki
Islamic worldview. Segala hal pun dipandang dari sudut pandang Islam oleh
Muslim, bukan sudut pandang yang justru bertentangan dengan Islam. Pemikiran
Muslim yang sudah memiliki Islamic worldview akan menghasilkan ilmu yang dapat
mendekatkan diri pada Allah, bukan yang bertentangan dengan Islam.
Perlunya
Islamisasi ilmu juga berlaku di bidang psikologi karena tidak semua Psikologi
Kontemporer dapat diterima dan diaplikasikan pada Muslim. Prof. Malik Badri
(sebagai pelopor Islamisasi ilmu) dalam artikelnya menekankan perlunya adaptasi terhadap
Psikologi Barat, karena tanpa adaptasi Psikologi Barat dapat merugikan atau
tidak berguna bagi Muslim. Perlu diingat juga bahwa Psikologi Barat tidak
membahas unsur jiwa, yang dalam Islam justru sangat diperhatikan. Kekurangan
pada Psikologi Barat tetap disikapi dengan bijak. Adaptasi dilakukan hanya pada
psikologi yang bertentangan Islam, sedangkan hasil pemikiran yang tidak
bertentangan, sekalipun itu dari Barat dapat dimanfaatkan oleh Muslim. Prof.
Malik Badri menggunakan terapi dengan cara Islami dan berhasil membantu banyak
kliennya sembuh. Beliau dalam buku “Dilema Psikolog Muslim”, menceritakan
pengalaman membantu menyembuhkan klien dengan menggunakan Cognitive Behavioral
Therapy yang dipadukan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Dari contoh
tersebut dapat diketahui bahwa ilmuwan Muslim dapat menggunakan tes
inteligensi, teknik pembuatan alat ukur psikologis, metode penelitian
eksperimental, konseling dengan empati, dan hal-hal lain yang tidak
bertentangan dengan Islam. Semua itu
dapat digunakan tentu dengan sikap yang bijak.
Ilmuwan
psikologi yang memiliki pemikiran Islami meyakini Allah sebagai Rabb, Islam
sebagai ad-Din, dan manusia juga sebagai makhluk spiritual yang memiliki jiwa.
Dia dalam tiap aktivitas keilmuan psikologi akan ingat bahwa yang diperhatikan
bukan sebatas tingkah laku yang terlihat atau terukur. Ada unsur lain di luar
itu turut mempengaruhi tingkah laku, yaitu jiwa. Pemikiran seperti itu akan
berdampak baik bagi Islamisasi Psikologi. Psikolog Muslim akan menjaga kondisi
jiwanya agar selalu bersih dari penyakit hati, sehingga dapat membantu para
klien sembuh dari gangguan dengan terapi yang melibatkan aspek jiwa dan
mangadopsi metode dari Barat yang tidak bertentangan dengan Islam. Peneliti
Muslim akan kritis dalam menyikapi kesimpulan penelitian yang dibaca. Ketika
bertentangan dengan Islam, akan dilakukan adaptasi, salah satunya dengan cara
menggunakan Islamic worldview dalam menginterpretasikan hasil penelitian. Akan
ada usaha memilah mana yang baik dan buruk untuk Muslim, kemudian memilih yang
baik, demi keselamatan ummat Islam.
Keselamatan
ummat Islam dari hal-hal yang merugikan menjadi fokus dalam Islamisasi ilmu.
Tidak bermasuk ekslusif, karena Islam merupakan rahmatalil ‘alamin, namun tidak
memaksakan orang-orang selain penganut Islam untuk mengikuti ajarannya. Itu
juga berlaku pada psikologi yang perlu diadaptasi, agar pada akhirnya ilmu
psikologi yang beredar pantas untuk Muslim.
Adaptasi
sebagian ilmu psikologi, sebagai salah satu cara Islamisasi ilmu, dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara. Cara dapat berbeda, asal esensinya sama.
Penggunaan label “Psikologi Islam” atau “Psikologi Islami” semestinya tidak
perlu dijadikan masalah, apalagi diperdebatkan. Islam saja memiliki
madzab-madzab yang penganutnya tersebar di seluruh dunia, namun semuanya tetap
Islam. Sekarang bukan saatnya mempermasalahkan perbedaan cara, namun
mempermasalahkan ilmu psikologi yang harus diadaptasi. Masih ada tugas yang
lebih penting dan harus dikerjakan oleh ilmuwan Muslim di bidang psikologi:
mencerdaskan pelajar Muslim yang belum paham mengenai permasalahan ilmu, agar
banyak yg dapat memilah dan memilih, sehingga tercipta produk-produk psikologi yang dapat dimanfaatkan oleh ummat
Islam.
Itu
memang tugas yang berat untuk Islamisasi Psikologi. Dibutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang keras.
Islamisasi ilmu Psikologi tidak akan lengkap tanpa kesucian hati dan keyakinan
terhadap Islam itu sendiri. Semoga kita termasuk orang-orang yang terlibat
dalam Islamisasi ilmu Psikologi baik secara langsung maupun tidak langsung,
sampai akhirnya Psikologi yang kita terima merupakan ilmu yang dapat mendekatkan
diri pada Allah. Dengan begitu, ummat Islam dapat memperoleh keselamatan dunia
dan akhirat. Wallahu’alam.*
Penulis
Penggiat Komunitas Penggenggam Hujan di Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
Daftar
Pustaka
Al-Attas,
Syed Muhammad Naquib. (1991). Islam dan Sekularisme. Bandung: Institut
Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan.
Badri,
Malik. Dilema Psikolog Muslim.
Badri,
Malik. The Islamization of Psychology Its “why”, its “what”, its “how” and its
“who”. Artikel dapat diunduh di http://i-epistemology.net/psychology/60-the-islamization-of-psychology-i….
Imam
Al-Ghozali. Keajaiban Hati. Penerbit Khatulistiwa.
Schunk,
D. H., Pintrich, P. R., Meece, J. L. (2010). Motivation in Education: Theory,
Research, and Applications. New Jersey: Pearson Prentice Hall.