By, Hamid Fahmy Zarkasyi
Pendahuluan
Dalam
tradisi intelektual Islam manusia didefinisikan sebagai hewan yang berfikir
(hayawan natiq). Berfikir logis dan argumentatif merupakan prasyarat dalam
pencarian ilmu pengetahuan. Artinya dalam mencari ilmu pengetahuan sesorang
harus mengikuti aturan berpikir atau hukum-hukum berpikir yang terangkum dalam
ilmu yang disebut logika (mantiq) atau qiyas.
Secara etimologis logika berasal dari kata
logos yang mempunyai dua arti 1) pemikiran 2) kata-kata. Jadi logika adalah
ilmu yang mengkaji pemikiran. Karena pemikiran selalu diekspresikan dalam
kata-kata, maka logika juga berkaitan dengan “kata sebagai ekspresi dari
pemikiran”.
Sementara itu qiyas berarti ukuran. Jika
dikaitkan dengan pemikiran maka qiyas berarti ukuran kebenaran berpikir.
Namun, secara
definitif logika berarti “ilmu tentang hukum yang menentukan validitas
berpikir”. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hukum berpikir yang valid,
akan dijelaskan definisi logika tersebut.
Logika
sebagai Ilmu Normatif
Ilmu atau
sains adalah pengetahuan; tapi perlu dipahami bahwa semua sains adalah
pengetahuan, dan semua pengetahuan tidak berarti sains. Seseorang bisa tahu
nama-nama berbagai anggota tubuh manusia, tapi pengetahuannya itu tidak mesti
ilmiyah (saintifik). Anda mungkin tahu tentang tumbuh-tumbuhan dan benda-benda
di angkasa, tapi pengetahuan anda mungkin tidak saintifik.
Sains, oleh
karena itu tidak semata-mata pengetahuan, tapi pengetahuan yang sistematis,
akurat dan lengkap tentang sesuatu subyek. Pengetahuan yang tidak sistematis
tidak dapat disebut sains, seperti juga batu-bata yang terhampar dan tidak
tersusun tidak dapat disebut bangunan. Jadi sains atau ilmu adalah pengetahuan
tentang suatu subyek yang bersifat metodologis, eksak dan lengkap.
Dalam
kaitannya dengan metodologi, Ilmu dibagi sedikitnya menjadi dua 1) ilmu Alam (natural sciences) dan 2) ilmu
normatif (normative sciences).
Yang
pertama membahas tentang sesuatu sebagaimana adanya (things as they are),
sedangkan yang kedua membahas tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu (things
they should be). Logika termasuk ke dalam kategori yang kedua, yaitu ilmu atau
sains normatif, karena ia mengkaji pemikiran, tidak sebagaimana adanya, tapi
bagaimana seharusnya.
Selain
logika, terdapat ilmu normatif lainnya seperti estetika dan etika. Dalam hal
ini Islam sebagai din dan pandangan hidup memiliki asas bagi berkembangnya ilmu
alam, ilmu normatif, estetika dan etika.
Kaidah
berfikir dan validitasnya
Karena
logika merupakan ilmu normatif, maka ia memiliki kaidah berpikir yang bersifat
normatif, artinya logika meletakkan kaidah-kaidah atau standar bagaimana
seharusnya kita berpikir. Ia tidak menjelaskan tentang bagaimana kita berpikir
(karena ini menjadi topik pembahasan ilmu psikologi), tapi bagaimana seharusnya
kita berpikir. Kaidah-kaidah berpikir menyerupai kaidah etika dan estetika
karena semuanya bersifat normatif.
Kaidah-kaidah
berfikir dalam logika dimaksudkan untuk menentukan apakah suatu pemikiran itu
disebut valid atau tidak, artinya benar atau tidak menurut kaidah logika. Valid
atau benar menurut kaidah logika terdapat dua makna:
Pertama tidak kontradiktif (self-contradictory) atau
bebas dari sifat kontradiktif. Ini dalam logika disebut validitas formal
(formal validity). Seperti misalnya mengatakan segitiga berbentuk empat persegi
panjang. Segi empat berbentuk bulat. Contoh berpikir yang kontradiktif adalah
sbb:
Manusia
adalah makhluk yang akan mati
Mahasiswa
adalah manusia
Maka
mahasiswa tidak akan mati
Argumentasi
di atas salah karena kesimpulannya bertentangan (kontradiktif) dengan
pernyataan (premis) sebelumnya. Seharusnya kesimpulannya maka mahasiswa akan
mati.
Kedua, sesuai dengan realitas yang sebenarnya (agree
with actual reality). Ini disebut validitas material (material validity). Seperti misalnya:
Manusia
adalah meja
Buku adalah
manusia
Maka
manusia adalah meja
Argumentasi
di atas tidak kontradiktif, karena kesimpulannya merupakan hasil dari dua
pernyataan (premis) sebelumnya, tapi argumen ini tidak valid. Mengapa? Karena
apa yang dinyatakan dalam argumentasi tersebut tidak sesuai dengan realitas
yang sebenarnya.
Dari kedua
macam validitas di atas maka logika dibagi menjadi dua macam 1) Logika Deduktif
2) Logika Induktif. Logika Deduktif hanya melihat validitas formal suatu
pemikiran atau argumentasi, maka dari itu seringkali disebut dengan Logika
Formal (formal logic). Logika Induktif menekankan pada validitas material suatu
pemikiran, maka dari itu disebut juga sebagai Logika Material.
Dalam
logika deduktif masalah yang diangkat adalah apakah suatu pemikiran konsisten?
Sedangkan dalam Logika Induktif pertanyaan yang dimunculkan adalah apakah suatu
pemikiran itu konsisten dengan realitas yang ada? Yang pertama melihat bentuk
(form) pemikirannya, sedangkan yang kedua meninjau substansi pemikirannya. Maka
dari itu agar suatu argumentasi dihukumi sebagai valid maka ia harus memiliki
validitas formal dan juga material, artinya tidak kontradiktif dan harus
konsisten dengan realitas aktual.
Maka dari
itu jika kita mendengar suatu pernyataan atau argumentasi, kita harus menguji
argumentasi tersebut dari dua sisi, pertama apakah argumentasi itu secara logis
tidak kontradiktif dan kedua apakah argumentasi itu secara substantif sesuai
dengan realitas.
Elemen
Pemikiran
Jika kita
cermati secara seksama, maka suatu pemikiran terdiri dari dari 3 elemen
penting, yaitu 1) konsep (concept, tasawwur), 2) penyimpulan (judgment,
tasdiq), dan 3) penalaran (reasoning, nazar).
1) Konsep (concept) artinya ide yang umum. Ketika
kita menyatakan bahwa “manusia akan mati”, kita berbicara tentang konsep
“manusia” dan konsep “mati” secara umum, bukan manusia tertentu atau kematian
tertentu. Seperti juga kalau kita menyebut kata “pesantren”, “sekolah”, “adil”,
“aqidah dsb. Jadi, perkataan manusia, negara, pesantren, pendidikan,
universitas, buku, kuda, dsb, adalah konsep-konsep sejauh mereka itu merujuk
kepada makna suatu obyek secara umum. Konsep ini dalam ilmu logika disebut
terma (term)
2) Penyimpulan (judgment) adalah kombinasi
dari dua konsep. Ketika kita membandingkan atau menggabungkan dua konsep,
sehingga kemudian menunjukkan makna baru, maka kita telah memperoleh apa yang
disebut penyimpulan. Seperti misalnya “pesantren itu bukan sekolah”, adalah
penyimpulan dari perbandingan konsep “pesantren” dengan konsep “sekolah”, atau
“manusia adalah makhluk sosial” adalah penyimpulan dari kombinasi konsep
manusia dan konsep makhluk sosial. Jadi penyimpulan (judgment) terdiri dari dua
konsep dan dalam logika penympulan disebut proposisi atau premis.
3) Penalaran (reasoning) adalah suatu proses
deduksi yang ditarik dari dua penyimpulan atau lebih. Jika kita mengatakan
“Semua orang Jawa adalah orang Indonesia, maka tidak ada orang Jawa yang bukan
orang Indonesia”, maka kita telah melakukan penalaran (reasoning). Karena hanya
terdiri dari dua proposisi maka ini disebut deduksi langsung (immediate
inference). Akan tetapi jika penalaran itu kita lakukan dengan meletakkan dua
proposisi, maka disebut deduksi tidak langsung ( a mediate inference atau
syllogism).
Seperti misalnya
Manusia
akan hewan berfikir
Mahasiwa
adalah manusia
Maka,
mahasiswa adalah hewan berfikir
Jadi dalam
penalaran kita menggabungkan satu atau lebih proposisi atau premis dengan
proposisi yang lain untuk mencapai kesimpulan (conclusion). Ini dalam logika
disebut dengan argumentasi.
Dari uraian
diatas jelaslah bahwa yang disebut pemikiran itu berasal dari konsep yang
digabungkan dengan konsep-konsep lain sehingga membentuk proposisi dan dari
gabungan proposisi itulah kita memperoleh pengetahuan baru.
Menguji
suatu argumentasi
Jika kita
menemukan suatu pemikiran maka yang pertama-tama kita uji adalah konsepnya.
Apakah konsep dalam suatu argumentasi itu jelas dan dapat kita terima atau
masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Jika pun konsep itu jelas yang tidak
lagi diperdebatkan, kita harus juga menguji apakah dalam perspektif lain
(secara sosiologis, secara politis, secara Islam dsb) konsep itu dapat
diterima.
Jika
konsep-konsep yang kita temukan itu tidak ada masalah, maka selanjutnya kita
harus mengujinya apakah gabungan konsep dengan konsep yang lain dalam
argumentasi itu dapat diterima dan tidak menimbulkan kerancuan. Konsep Islam,
misalnya sudah jelas, tapi ketika digabungkan dengan konsep liberal dan menjadi
“Islam liberal”, maka terjadi kerancuan. Sebab Islam berarti berserah diri,
sementara liberal artinya bebas, maknanya kontradiktif. Seperti juga gabungan
konsep kafir dan saleh, menjadi “seorang kafir yang saleh”, juga “kolonialis
yang humanis”, “perampok yang moralis”
dsb.
Jika
gabungan konsep-konsep suatu argumentasi tidak perlu dipermasalahkan, maka kita
perlu mengujinya apakah kesimpulannya sesuai dengan premis-premis yang
diberikan sebelumnya. Disini pengetahuan kita tentang logika formal sangat
diperlukan.
Kesimpulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar