Oleh : Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A. Ed, M. Phil*
Ketika makna suatu kata berganti dan
berubah dari makna aslinya, maka boleh jadi karena adanya intrusi pandangan
hidup asing (intrusion of worldview). Dapat pula disebabkan oleh pergeseran
nilai dalam budaya pemegang makna itu.
Di Barat telah terjadi perubahan makna
“gender” dari makna aslinya. Semua maknanya difahami umum sebagai jenis
kelamin: maskulin dan feminim. Makna itu dalam webster’s New World Dictionary,
New York: 1984, berubah menjadi perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di sini bedanya bukan
kelamin lagi, tapi sudah menjadi tingkah laku.
Dalam Encyclopedia of Women Studies, vol
I, Helen Tierney mengartikan Gender bukan lagi perbedaan tingkah laku, tapi
sudah menjadi suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(dinstinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat.
Sepakat dengan Helen Hilary M Lips, di
tahun 1993 menulis, Sex and Gender: An Introduction. Di situ, Helen mengartikan
gender menjadi harapan-harapan budaya (cultural expectation) terhadap laki-laki
dan perempuan. Di sini realitas laki-laki dan perempuan sebagai obyek sudah
hampir tidak penting.
Akhirnya “gender” resmi berbeda tajam
dari kata sex. Sex digunakan secara umum untuk membedakan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologis, atau jenis kelamin. Maka sex meliputi
perbedaan komposisi hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan
sifat-sifat biologis lainnya. Gender digunakan untuk mengkaji asfek sisial,
budaya, psikologis, dan asfek-asfek nonbiologis lainnya. (Linda L Lindsaey,
Gender Roles: A Sociological Perspective, New Jersy, Prientice Hall, hal. 28).
Belum cukup dengan makna baru itu,
Lindsey mengubah defenisinya. Gender yang telah menjadi suatu konsep itu
menjelma lagi menjadi teori “Kajian Gender” (Gender Studies). Kajian gender
adalah kajian yang berkaitan dengan ketetapan masyarakat perihal penentuan
seseorang sebagai laki-laki atau perempuan, di sini, apa itu laki-laki sudah
tergantung kepada ketetapan masyarakat. Menambahkan konsep ini, Elaine
Showlater (ed), dalam karyanya, Speaking of Gender menyatakan bahwa gender
bukan hanya pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konsep sosial
budayanya. Ia menekankan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk
menjelaskan sesuatu. (Alaine Showlater [ed], Speaking of Gender, New York &
London: Rouytledge, 1989, hal. 3).
Tren mengubah makna memang kerja
orang-orang postmodern. Mulanya mereka sadar akan kemajemukan realitas, lalu
ragu jika manusia mampu memahami realitas itu. Karena itu mereka hilangkan
makna dan kebenaran universal. Makna segala sesuatu bisa dipasang copot
bagaikan cincin pada jemari; dihilangkan konteknya; diputus hubungannya dengan
makna lain. Jadi orang postmo itu sebenarnya tahu kebenaran, tapi bagi mereka,
kebenaran kemudian itu akan berubah maknaya. Begitu pulalah dengan kasus makna
kata gender.
Sejatinya, setiap kata mengandung makna,
setiap makna mengandung konsep. Serangkaian atau jalinan konsep suatu dalam
peradaban dapat membentuk suatu pandangan hidup atau worldview. Jika
makna-makna dari konsep kunci dari peradaban atau worldview lain, maka
peradaban itu akan didominasi oleh peradaban lain.
Kini, segelintir cendekiawan muslim telah
mengubah konsep kunci dalam Islam. Demi menjustifikasi konsep gender, jumlah
hak waris laki-laki dan wanita harus sama; karena kesetaraan gender fiqih
dianggap maskulin; karena gender pula hadist-hadits tentang wanita yang negatif
dianggap misoginis; untuk membela kesetaraan gender peranan suami dikalahkan
oleh isteri atau disamakan. Jika ini terus terjadi maka masa hegemoni terhadap
pemikiran umat semakin dahsyat.
*Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A. Ed, M. Phil,
lahir di Gontor, 13 September 1958,. Saat ini menjadi pimpinan Redaksi Majalah
ISLAMIA dan direktur Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilization (INSISTS),