Oleh: Henri
Shalahuddin
Jika kita sepakat bahwa semua kitab
suci adalah Karya Tuhan, berarti tak lama lagi di Indonesia Kekuasaan-Nya
segera dibatasi dengan undang-undang. Keadilan-Nya kian dipertanyakan. Bahkan pengikut-Nya
bisa dipidanakan gara-gara melanggar UU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG).
Itu jika komisi VIII DPR RI tetap nekad mengesahkan RUU KKG.
Keadilan Tuhan seperti yang
termaktub dalam lembaran-lembaran kitab suci dianggap tidak lagi setara untuk
laki-laki dan perempuan, alias bias gender! Apalagi Bab VIII, pasal 67 RUU KKG
secara tegas menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis
kelamin tertentu”.
Karena Tuhan tidak termasuk dalam
kategori “setiap orang”, maka sebagai gantinya adalah semua orang yang
mengikuti ajaran Tuhan. Maka siapa saja yang masih saja melaksanakan Ketentuan
Tuhan dalam masalah waris, aqiqah, kesaksian, melarang perempuan menjadi khatib
jumat, wali nikah, imam shalat bagi makmum laki-laki, dan melarang nikah beda
agama maupun sesama jenis berarti telah melanggar Bab VIII, pasal 67 dan Bab
III pasal 12, khususnya huruf a dan e yang menyatakan: “Dalam perkawinan,
setiap orang berhak: (a) memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau
isteri secara bebas. (e) atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
pengangkatan anak”.
Apa yang menjadi Kehendak Tuhan
secara umum dinilai telah melenceng dari dasar filosofi, karakteristik, arah dan target RUU KKG
seperti yang digariskan dalam Ketentuan Umum, Bab I, pasal 1.
Dalam ketentuan umum, kesetaraan dan
keadilan diartikan dengan kesamaan dan persamaan. “Kesetaraan Gender adalah
kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan
kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat
pembangunan di semua bidang kehidupan. Sedangkan “Keadilan Gender adalah suatu
keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban
perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan
warga negara”. (cetak miring untuk kata kesamaan dan persamaan oleh penulis)
Apa saja
bentuk “ketidakadilan” dalam kitab suci menurut RUU KKG?
Dalam Bibel
terdapat banyak sekali ayat-ayat yang secara tekstual cenderung bertentangan
dengan RUU ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. “Demikian juga hendaknya perempuan.
Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya
jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang
mahal-mahal”. (I Timotius 2:9)
2. “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar
dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri”.
(I Timotius 2:12)
3. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan
perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa”. (I Timotius 2:14)
4. Wujud kutukan Tuhan terhadap perempuan.
“Firman-Nya kepada perempuan itu: “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat
sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau
akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”. (Kejadian 3:16)
5. Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang
kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat.
Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan
diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin
mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah.
Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat. (I
Korintus 14:34-35);
6. Sebagai simbol kejahatan “Dan pada dahinya
tertulis suatu nama, suatu rahasia: “Babel besar, ibu dari wanita-wanita
pelacur dan dari kekejian bumi. Dan aku melihat perempuan itu mabuk oleh darah
orang-orang kudus dan darah saksi-saksi Yesus”. (Wahyu 17:5-6)
7. “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu
seperti kepada Tuhan. Karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus
adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. karena suami adalah
kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang
menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus,
demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu”. (Efesus 5:22-24)
8. Anak perempuan tidak mendapatkan waris
kecuali jika tidak ada pewaris lagi dari laki-laki. “Dan kepada orang Israel
engkau harus berkata: Apabila seseorang mati dengan tidak mempunyai anak
laki-laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada
anaknya yang perempuan”. (Bilangan 27:8)
9. Seorang istri tidak punya hak waris dari
suaminya (bilangan 27:8-11)
10. Anak perempuan boleh dijual sebagai budak:
“Apabila ada seorang menjual anaknya yang perempuan sebagai budak, maka
perempuan itu tidak boleh keluar seperti cara budak-budak lelaki keluar”
(Keluaran 21:7)
11. ”Dan aku menemukan sesuatu yang lebih pahit
dari pada maut: perempuan yang adalah jala, yang hatinya adalah jerat dan
tangannya adalah belenggu”. (pengkhotbah 7:26)
Demikian seperti yang dikuatkan juga
oleh P. Hendrik Njiolah, Pr., seorang Penasihat Rohani WKRI DPD Propinsi
Sulawesi Selatan dan alumnus Pontificium Institutum Biblicum (Institut Kitab
Suci Kepausan) Roma (1987-1991), dalam bukunya “Ideologi Jender dalam Kitab
Suci (Suatu Penggalian)”.
Tidak hanya Bibel, bahkan al-Qur’an
pun akan dipandang sama. Karena banyak ayat-ayat al-Qur’an tidak sejalan dengan
RUU ini. Di antaranya seperti berikut:
1. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya (QS. Al-Baqarah 228)
2. Allah mensyari’atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan (QS. An-Nisa’ 11)
3. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa’ 34)
Lalu apakah dengan banyaknya
ketidaksesuaian dengan RUU ini, teks-teks kitab suci itu harus dirombak?
Ataukah DPR RI dan Menneg PP akan mempromotori proyek pembuatan tafsir kitab
suci versi baru yang sehaluan dengan RUU ini? Kita tunggu bagaimana akal
kolektif anggota dewan menghadang Wahyu Tuhan.
RUU KKG
Memasung Perempuan
Sebenarnya banyak sekali pasal-pasal
dalam RUU KKG ini bertentangan dengan kodrat perempuan. Bahkan mereka juga
tidak terlalu membutuhkannya. Biarlah keinginan perempuan berkembang secara
alami dan beragam. Pemerintah tidak perlu mengintervensi keinginan perempuan
dengan memaksa mereka minimal 30% harus duduk di legislatif, eksekutif,
yudikatif dan lembaga pemerintahan lainnya. Pemerintah juga tidak terlalu perlu
untuk mengistimewakan keinginan sekelompok perempuan tertentu yang bersifat
kasuistik untuk dibuat aturan umum yang mengikat semua warga negara. RUU KKG
adalah wujud pemaksaan perempuan untuk tidak menjadi seperti yang mereka
kehendaki.
Para pembuat RUU ini seharusnya
lebih akomodatif terhadap pilihan wanita, termasuk memperhatikan ambisi para
ibu untuk mendidik anak-anaknya. Kata-kata seorang ibu di Melbourne sungguh
patut direnungkan bagi kita semua: “Saya mempunyai mimpi untuk diri saya
sendiri, tapi saya mempunyai mimpi yang lebih besar untuk anak-anak saya”.
Kepada isteri saya, seorang ibu guru juga menceritakan pengalamannya ketika
ditanya muridnya: “What is your ambition?” Lalu dia menjawab: “My ambition is
to guide my children reach their ambition”.
Memang sungguh tidak mudah
mewujudkan mimpi dan ambisi semua perempuan. Karena hal itu memerlukan
integritas, kapasitas dan kapabilitas yang sempurna. Namun merupakan suatu
kebodohan kaaffah jika pembuat kebijakan hanya mengakomodir kepentingan
sebagian kecil kelompok yang tidak mendasarkan pada nilai-nilai kemuliaan
perempuan. Sebab kata Ibn al-Qayyim kebodohan adalah memandang baik sesuatu
yang mestinya buruk dan menganggap sempurna sesuatu yang mestinya kurang.
Sedangkan kebodohan dan keras kepala jika berakumulasi pada diri seseorang akan
berakibat jahil murakkab (bodoh kuadrat). Abu Talib al-Makki menjelaskan bahwa
mereka inilah “orang-orang yang tidak tahu dan tidak tahu kalau dirinya tidak
tahu”. Pastinya kita tidak sedang mengharap bahwa kejahilan kolektif yang
murakkab bakal menimpa dewan yang sama-sama kita hormati.
Wallahu a’lam bi
l-sawab